Benarkah Isteri Tidak Wajib Masak Dan Mengurus Rumah?

Oleh: Rafi

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustaz yg dirahmati Allah,

Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah ustaz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar. Mudah2an ustaz masih ingat materi “memuliakan isteri”, ketika itu Ustaz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah, isteri tidak berkewajipan memasak, mencuci, menyeterika dll, (pekerjaan rumah tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kepada suami untuk keperluan peribadinya. Apa yang Ustaz sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu Ustaz tidak secara jelas menyertakan hadits/ayat Qur’an yang mendasarinya. Pertanyaan saya :



1. Tolong jelaskan hadits/ayat tentang hal tersebut diatas, yang rinci ya Ustaz.

2. Apakah hal tersebut diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalau ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.

3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada saat wukuf diarafah, disebutkan” …dan berikanlah isterimu makanan dan pakaian yang layak,” secara bahasa Arab samakah arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeza, kerana makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, kerena ini terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.

Terima kasih atas jawapannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah untuk senantiasa redha dengan ketetapan Allah. Amin.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,



Jawapan..

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa khabar ibu-ibu sekalian, semoga sihat-sihat ya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di hati dan juga menyusahkan.

Tentang materi ‘memuliakan isteri’ itu, memang saya mendengar bahawa sempat para bapak komplain, ya. Kerana ternyata ‘kenikmatan’ para bapak selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya. Sebenarnya bahawa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Cuba, ibu boleh lihat di pasar dan supermarket di Doha, yang belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?

Nah itu saja sudah jelas bahawa kewajipan memberi makan adalah sebahagian dari kewajipan memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para isteri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di Doha. Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ketiga mala besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mall itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan masih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja keperluan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak. Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja.

Mana Ayat Quran atau Haditsnya?

Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya bahawa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami. Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahawa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit. Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda. Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja boleh dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.



Sebaliknya, Asma’ binti Abu Bakar diberi pembantu rumah. Dalam hal ini, suami Asma’ memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajipan suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma’ memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy. Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu ‘anhu, lelaki yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gabenor di kota Himsh. Sang gabenor ketika di complain penduduk Himsh gara-gara sering lamabat ke kerja, beralasan bahawa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang boleh disuruh untuk memasak buat isterinya, atau mencuci baju isterinya. Lah, kenapa kebalik? Bukan ke isterinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajipan memasak dan mencuci baju memang bukan isteri, tapi suami. Kerana semua itu bahagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada isteri. Sebagaimana firman Allah SWT :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’ : 34)

Pendapat 5 Mazhab Fiqh.

Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.

Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahawa para isteri pada hakikatnya tidak punya kewajipan untuk berkhidmat kepada suaminya.

1. Mazhab al-Hanafi.

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu isterinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka isteri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap. Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang isteri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka isteri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

2. Mazhab Maliki.

Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) isterinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara isterinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban isteri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat isterinya.

3. Mazhab As-Syafi’i.

Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas isteri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

4. Mazhab Hanabilah.

Seorang isteri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh isteri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

5. Mazhab Az-Zhahiri.

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi isteri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah. Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi isterinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.



Pendapat Yang Berbeza.

Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahawa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka. Kita boleh faham dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada isterinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.

Jadi para isteri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada isterinya. Dan memberi nafkah itu ertinya bukan sekadar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para isteri. Dan wang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga. Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada isteri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan isteri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak isteri. Dan lebih celaka, kalau kurang, isteri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya. Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu boleh sahaja kita terima, asalkan isteri juga harus dapat ‘jatah gaji’ yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.

Perempuan Dalam Islam Tidak memerlukan Gerakan Pembebasan.

Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk boleh menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif kerana hak-hak wanita disana masih saja dikekang. Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan isteri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang isteri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan. Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajipan. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu boleh lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.

Anda masih keseorangan?

1,050,000 orang sudah mendaftar di Baituljannah.com, sebuah platform cari jodoh muslim dan hampir 10,000 pasangan sudah melangsungkan perkahwinan.


Saya merupakan seorang
- pilih -

Mencari calon pasangan
- pilih - berumur

25 - 40 tahun

Artikel Lain

Tinggalkan Komen